Rabu, 16 September 2015

Rammang-Rammang



Melihat Lebih Dekat Rammang-Rammang

Salah satu sudut Rammang-Rammang

Salah satu sudut Rammang-Rammang

Setelah lama mendengar dan melihat banyak foto tentang Rammang-Rammang, akhirnya saya bisa menginjakkan kaki ke tempat itu. Harus saya akui, Rammang-Rammang memang memukau.

Akkulle jaki appalimbang anne bangngiya? (Bisakah menyeberangkan kami malam ini? ? Makassar)”, Tanya saya lewat telepon.
Akkulleji, mingka kitayang-tayangmi rong di. Kammpi anjo mae tette salapang. (Bisa, tapi tunggu sebentar ya? Mungkin sekitar jam sembilan)” Jawab daeng Beta di seberang telepon.
Daeng Beta adalah salah satu pemilik perahu di dermaga Rammang-Rammang. Malam itu saya dan tujuh teman lain dari komunitas Blogger Makassar memang berniat untuk melihat lebih dekat kawasan karst bernama Rammang-Rammang di Kabupaten Maros.
Rammang-Rammang masuk dalam kawasan karst yang membentang di kabupaten Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan. Kawasan karst (yang asal katanya dari bahasa Yugoslavia/Slovenia) ini luasnya sekitar 45.000 hektar di mana 20.000 hektar di antaranya masuk dalam kawasan taman nasional Bantimurung, Maros. Kawasan karst ini termasuk kawasan karst terbesar kedua di dunia setelah kawasan karst di Yunnan, Tiongkok Selatan. Tahun 2001 UNESCO memasukkan kawasan karst Maros-Pangkep sebagai kawasan cagar alam yang telah memenuhi 9 syarat termasuk keragaman hayati yang unik dan tentu saja sisa peninggalan manusia purba di beberapa dinding gua.


Kawasan karst Rammang-Rammang
Dusun Rammang-Rammang sebagai salah satu bagian wilayah karst itu belakangan mulai populer sebagai tujuan wisata. Kawasan Rammang-Rammang adalah salah satu kawasan yang mudah dijangkau dari kota Makassar. Jaraknya sekisar 37 km ke arah utara dan dapat dijangkau dengan perjalanan darat selama kurang lebih 1 jam.
    Ada beberapa daerah di dusun Rammang-Rammang yang dapat dijelajahi, tapi malam itu kami memutuskan untuk masuk ke Kampung Berua yang harus dicapai dengan menyusur sungai selama kurang lebih 30 menit. Air sungai sedang surut malam itu ketika kami menanti di dermaga Rammang-Rammang. Waktu jam 9 yang dijanjikan daeng Beta bukan tanpa alasan, di jam itu ketinggian air mulai naik dan bisa dilewati perahu kecil berukuran lebar tak lebih dari 1 meter dengan panjang sekisar 5 meter. Satu perahu maksimal hanya bisa memuat 6 orang termasuk nakhoda.
Sekisar pukul 9.30 malam daeng Beta akhirnya datang. Dia diahului satu perahu milik adik iparnya, karena jumlah kami yang lebih 5 orang maka kami butuh dua perahu untuk bisa sampai ke tujuan. Satu perahu dibanderol Rp. 200.000,- pergi-pulang. Dengan sangat hati-hati kami naik ke perahu, tinggi air di dermaga tidak sampai sepinggang orang dewasa atau sekisar 80an cm. Satu per satu kami naik ke perahu, benar-benar butuh nyali besar karena perahu bergoyang keras bahkan terasa nyaris terguling.


Dermaga Rammang-Rammang dari atas jembatan
Perjalanan ke Kampung Berua buat saya sedikit mencekam, maklum malam sudah mulai larut dan ketinggian air sebenarnya tidak nyaman untuk dilewati perahu. Daeng Beta yang menyetir harus benar-benar ekstra hati-hati menyusuri sungai, jangan sampai perahu menabrak karang. Bisa-bisa bocor dan fatal akibatnya. Beruntung malam itu purnama memberi sedikit cahayanya meski dia tersaput awan. Dengan bantuan purnama dan head lamp di kepala daeng Beta kami menerobos gelapnya malam di atas sungai dengan hati-hati.

Akhirnya Tiba
Harusnya saya bisa menikmati perjalanan itu, maklum pemandangan di kanan-kiri terlihat sangat menggoda. Gugusan karst berada di belakang deretan bakau dan pohon nipah. Siluet yang muncul dari cahaya bulan yang redup membawa suasana gabungan antara mistis, misterius dan membuat penasaran. Sayang, kondisi kapal yang oleng ke kanan dan ke kiri membuat saya tidak henti-hentinya berdoa semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk. Saya tidak kuatir pada hewan liar seperti buaya atau ular yang mungkin ada di sungai, saya lebih kuatir pada kamera di dalam tas.
“Kalau perahunya oleng dan kita jatuh ke sungai bisa-bisa kamera basah.” Hanya itu yang saya kuatirkan.
   Perjalanan sekisar 30 menit itu terasa sangat lama. Sesekali saya masih bisa menikmati goresan alam yang ada di sekeliling, utamanya ketika perahu harus melewati tebing serupa goa. Cahaya purnama yang temaram menambah aroma mistis malam itu. Sayang karena suara mesin perahu yang cempreng sedikit banyak menghalangi kita untuk menikmati suasana sepenuhnya.


Desa Kampung Berua di pagi hari
Ketika akhirnya tiba di dermaga Kampung Berua, rasanya benar-benar lega. Kampung Berua adalah kampung kecil yang hanya diisi oleh 15 rumah yang saling berjauhan. Di tengah-tengah perkampungan ada sawah luas dan beberapa empang ikan. Di belakang, tembok batu tinggi yang dipagari pepohonan terlihat angkuh menantang langit. Suasana temaram membuat saya hanya bisa mengira-ngira pemandangan malam itu.
   Kami meniti pematang sawah yang basah selepas hujan hingga ke tepi bukit di depan deretan pohon dan semak. Malam itu rencananya kami akan membuka kemah di sana dan melewatkan malam di alam terbuka. Tadinya kami berniat mengejar gugusan bintang setelah melihat foto yang disebar seorang kawan di media sosial, sayang kami tidak beruntung. Malam itu langit dipenuhi awan selepas hujan tadi sore. Makin malam bintang memang mulai keluar, tapi tetap saja jumlahnya tidak seperti yang kami bayangkan.
  Ketika pagi datang saya baru sadar betapa indahnya pemandangan di sekitar kami. Gugusan bukit batu mengelilingi kami seperti membentuk sebuah pagar alami yang tinggi. Sinar matahari perlahan naik melewati gugusan batu itu membawa suasana yang benar-benar menyenangkan. Di depan kami terhampar sawah selepas panen, di belakangnya berbaris bukit batu berwarna abu-abu kehitaman dan diselingi warna hijau pohon dan belukar. Warna-warna itu disempurnakan dengan latar belakang langit biru dan awan putih yang disaput warna emas matahari pagi. Benar-benar lukisan alam yang membuai.


Pagi hari di Kampung Berua

Kemah kami di Kampung Berua

Meninggalkan Kampung Berua
Setelah menghabiskan malam di alam terbuka, pukul 8 pagi kami meninggalkan Kampung Berua dan kembali ke dermaga Rammang-Rammang. Perjalanan pagi itu terasa lebih menyenangkan, selain karena suasana yang lebih terang, ketinggian sungaipun lebih nyaman untuk ditelusuri. Kali ini meski perahu masih tetap oleng ke kanan dan ke kiri namun saya sudah bisa menikmati pemandangan di kanan kiri.
   Hijaunya pohon bakau dan nipah berbaris di depan padang rumput hijau dengan batu-batuan yang menjulang seperti menara. Di tengah sungaipun beberapa batu besar berdiri tegak menghalangi jalan. Benar-benar perjalanan yang menyenangkan sampai akhirnya kita tiba di dermaga Rammang-Rammang.
   Setelah sekian lama penasaran mendengar cerita dan foto-fotonya, saya akhirnya bisa menginjakkan kaki di Rammang-Rammang. Saya harus mengakui kalau kawasan ini benar-benar memukau, tak heran beberapa orang menyebutnya sebagai
The Hidden Paradise”.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar