Minggu, 20 September 2015

Latimojong Mountain








LATIMOJONG MOUNTAIN

garissg-nenemori-3397-mdpl-6012011-11 (foot’s from latimojong.wordpress.com)


   Gunung Latimojong adalah satu nama gunung di Kabupaten EnrekangSulawesi SelatanIndonesia. Gunung Latimojong berada di tengah-tengah Sulawesi Selatan. Sebagian besar pengunungan ini terletak di daerahKabupaten Enrekang.
Gunung Latimojong merupakan gunung yang tertinggi di Sulawesi Selatan dengan ketinggian 3.680 meter, puncaknya yang bernama Rante Kambola. Pegunungan Latimojong ini membentang dari selatan ke utara. Di sebelah barat Gunung Latimojong adalah Kabupaten Enrekang, sebelah utara Kabupaten Tana Toraja, sebelah selatan adalah daerah Kabupaten Sidenreng Rappang dan area sebelah timur seluruhnya wilayah Kabupaten Luwu sampai di pinggir pantai Teluk Bone.
My Journey!
kaki latimojong  (foot’s from www.diskusilepas.com)
latimojongPW1 (foot’s from archive.kaskus.co.id)

Sudah lama rasanya saya tidak menulis lagi karena kesibukan di keseharian saya, dan juga seperti kehilangan semangat untuk menulis. Okay, kali ini saya akan menceritakan perjalanan saya sewaktu melakukan perjalanan ke Gunung Latimojong, di tanah Sulawesi. pada Mei 2014 kemarin. Here we are
Pada medio Januari 2014 kemarin, Fauzan, seorang teman kuliah dan saudara STAPALA yang sekarang bekerja di Kota Sorong memposting rencana perjalanan naik gunung melalui jejaring Facebook. Tidak tanggung-tanggung, gunung yang akan didaki adalah gunung Latimojong, yang merupakan gunung tertinggi di Pulau Sulawesi, yaitu dengan Puncaknya yang bernama Rante Mario. Apakah saya berpikir panjang untuk join? tentu tidak! haha..tanpa memikirkan kecukupan biaya ataupun cuti, saya langsung menghubungi Fauzan, dan mengatakan untuk ikut bergabung dalam perjalanan itu!
Nah, niat sudah ada, tinggal memperkirakan waktu dan biaya nya nih. Mulai deh nabung, dan berniat untuk memulai lari pagi minimal tiga hari seminggu. Dan realisasinya? Dari bulan Januari sampai H-1 berangkat, total pagi hari yang dipakai untuk olahraga hanya tiga kali, suram memang, tiap pagi suka telat bangun, keasikan begadang, haduh..
Selanjutnya adalah, mempersiapkan dari jauh-jauh hari perlengkapan yang akan dibawa. Dari kupluk hingga sepatu gunung, dari pakaian dalam hingga jaket, dan sebagainya. Lengkapnya ini nih listnya, kali aja bisa sebagai referensi buat teman-teman yang pengen naik gunung:
1. Pakaian secukupnya, (celana, kaos, kemeja, dll)
2. Slayer, topi rimba, atau apapun itu yang penting menutupi kepala,
3. Jaket hangat, Wajib coy!
4. Kerir/tas gunung,
5. Raincoat/jas hujan, Wajib juga!
6. Sarung tangan,
7. Sepatu gunung/sandal gunung, mau swalloan jga oke2 aja, tergantung ketahanan, hehe..
8. Kaos kaki 2 pasang dipake jalan, 1 pasang dipake kalo mau tidur,
9. Sleeping bag,
10. Kompor,
11. dll….
okee, selesai mempersiapkan perlengkapan, seterusnya tinggal menunggu tanggal mainnya. Waktu itu Fauzan sendiri yang mengurus proses administrasi dan mencari transportasi selama di Baraka, sehingga saya tinggal datang pada meeting point yang telah disepakati. Namun buat teman-teman yang pergi sendiri yang ingin ke Gunung Latimojong, sebelum berangkat kesana diperhatikan proses perizinannya, kemudian cari informasi mengenai transportasi dari Kecamatan Baraka ke dusun Karangan, dusun terakhir sebelum memulai pendakian gunung Latimojong, karena biasanya menyewa mobil Jeep disana agak susah.
Hari 1:
Nah, seperti biasa, saya berangkat dari kota Padang Sidempuan dengan bus terlebih dahulu menuju Kota Medan selama 10 jam perjalanan hingga sampai di Bandara Kuala Namu. Selanjutnya saya naik pesawat ke Makassar, dan transit di Jakarta, kemudian sekitar pukul 10 pagi waktu setempat tiba di Bandara Sultan Hasanuddin, bandara di Makassar. Alhamdulilah, akhirnya saya menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di tanah Sulawesi. Selanjutnya saya menuju Tanah Bira di ujung selatan Pulau Sulawesi, yang nantinya akan saya ceritakan di lain kesempatan.
Hari 2:
(Bira)
Hari 3:
Setelah puas selama tiga hari di Bira, sekitar pukul 11 siang, saya melanjutkan perjalanan pulang ke Makassar, dan sampai di Makassar sekitar pukul 5 sore. Sempat kesulitan mencari terminal bus, nanya-nanya orang, akhirnya setelah berganti angkot 2 kali, sampai juga di terminal bus  kota Makassar di seputaran Jalan Perintis Kemerdekaan. Langsung saya cari bus dengan tujuan Toraja, karena saya berencana mengunjungi Tana Toraja dulu sebelum ke Baraka. Saya mengambil bus dengan nama perusahaan Litha & co waktu itu. Busnya cukup nyaman menurut saya. Malam itu juga saya bertemu dengan teman saya Pardamean Harahap di terminal, dan tak lama kemudian bus pun berangkat.
Sempat mengalami pengalaman tak enak, ketika bus ngetem di sebuah terminal entah dimana namun masih di Kota Makassar, masuklah serombongan penjaja buah, yang rata2 adalah pemuda tanggung sekitaran 10 orang. Mereka menawarkan buah yang dibungkus plastik seharga Rp 5.000, ya betul, cuma Rp 5.000 untuk sebungkus apel yang terdiri atas 4 buah, dan sebungkus anggur juga. Saya sudah tak tertarik beli, namun teman saya karena tertarik dengan harga yang sangat miring itu, berniat membeli 2 bungkus. Dan yang terjadi adalah, ya, scamming! ternyata harganya Rp 45.000 satu bungkus. Bangke banget ya! dan saya sudah sempat adu mulut, dan mereka tiba-tiba bergerombol di bangku kami sambil ngancam-ngancam, untunglah teman saya itu orangnya berkepala dingin, dengan segera dia mengambil satu bungkus apel kemudian membayarnya, dan mengembalikan sisa bungkusan yang kami pegang. Kalau saya sendirian disitu, sudah berkelahi pun jadilah!
Hari 4:
(seharian penuh kami di Toraja, nanti saya ceritakan di lain kesempatan)..
Malamnya dari Tana Toraja, kami agak kerepotan menuju Kecamatan Baraka, dikarenakan tidak ada bus ataupun travel yang langsung ke Baraka, hanya turun di suatu tempat di Enrekang. Jadinya kami mencari-cari informasi, dan akhirnya berkat bantuan bapak angkot yang kami tumpangi mencari bus, kami pun mendapatkan bus pada malam itu dengan tujuan Enrekang. Kecamatan Baraka itu terletak di Kabupaten Enrekang, sehingga pemikiran kami waktu itu kami cukup ke Enrekang dulu, dan ke Barakanya nanti saja dipikirin, hehe..
Di perjalanan menuju Enrekang, saya menghubungi no kontak yang ada di Baraka, yaitu Pak Dadang, dari KPA Lembayung (salut sama beliau, beliaulah yang menjembatani kami untuk dapat transportasi dari Baraka ke Karangan, kemudian yang menjadi tempat persinggahan kami selama di Baraka). Dan setelah menceritakan kronologisnya, beliau berjanji akan menjemput kami di Enrekang, yang pada awalnya kami kira jaraknya ga terlalu jauh. Ada sekitar 3 jam perjalanan dari Toraja menuju Enrekang, dan sesampai di sana, kami pun menghubungi beliau kembali. Dan ternyata sudah ada dua orang anak muda yang menjemput kami dengan motor. Alhamdulilah..
Perjalanan dari suatu tempat di Enrekang itu ke Kecamatan Baraka ternyata sangat jauh, sekitar satu jam perjalanan, wah wah, kami sangat merepotkan mereka. Sesampai di rumah Pak Dadang, kami disambut beliau dengan hangat. Kami bercerita banyak hal, bahkan mengenai Gunung Latimojong juga, sembari minum kopi yang disediakan istri beliau. Ternyata Pak Dadang merupakan pendiri KPA Lembayung yang berada di Kecamatan Baraka tersebut. KPA tersebut sering membantu para pendaki yang ingin menaiki Gunung Latimojong. Salut deh! Dan kemudian sisa malam itu kami lanjutkan dengan mengistirahatkan badan yang sudah lelah..
Hari 5:
Sekitar pukul 5 pagi, saat masih asik terlelap dalam dinginnya cuaca, rombongan tim akhirnya tiba di Baraka juga. Mereka adalah teman-teman seperjalanan yang baru berangkat tadi malamnya dari Makasar, yah, rombongan Fauzan, leader perjalanan kali ini. Kami segera packing, karena diperkirakan mobil Jeep yang akan membawa tim ke dusun Karangan akan tiba pada pagi ini. Rencana kami yang semula akan berangkat jam 11 siang kami percepat, dengan harapan nanti sore sudah bisa sampai di Pos 2 untuk nge-camp.
Sekitar jam 7 pagi, mobil tumpangan kami akhirnya tiba. Ternyata supirnya adalah teman Pak Dadang sendiri, yang sudah biasa mengantar jemput para pendaki dari Baraka ke Karangan. Sekedar informasi, jarak antara Baraka menuju Karangan sendiri ditempuh dalam waktu lebih kurang empat jam dengan mobil Jeep. Kebayang kan kalau jalan kaki, haha… Namun alternatif lain adalah bisa menyewa ojek dari Baraka. Terkadang ada juga pendaki solo atau cuma berdua yang menyewa ojek sebagai transportasi dari dan ke dusun Karangan.
Jam 8 pagi, kami pun berangkat setelah sebelumnya dijamu sarapan pagi oleh istri Pak Dadang. Selanjutnya mampir di Pos Polisi Baraka untuk membuat perizinan dan laporan tim yang berangkat. Ketika itu cuaca berawan, diselingi oleh gerimis. Dan perjalanan pun dimulai…

10353179_10202157929416827_1783689157519255242_n (dalam perjalanan dari Baraka menuju Dusun Karangan)
Sekitar pukul 1 siang kami akhirnya tiba di dusun Karangan, dusun terakhir sebelum memulai start pendakian. Perjalanannya agak terlambat dikarenakan sempat terjadi kerusakan pada mobil Jeep yang kami tumpangi. Wajar saja, mengingat medannya yang berat dan berlumpur, dimana di sepanjang jalan, jurang mengaga lebar di sebelah kanan, membuat mobil berjalan perlahan. Kami segera melapor ke Kepala Dusun Karangan, yang ternyata rumah beliau sering dijadikan Basecamp oleh para pendaki.
 (pose tim lengkap bersama porter)
 (di depan Basecamp rumah Kepala Dusun Karangan)
Sekitar pukul 2 siang lebih, kami pun memulai perjalanan, trek dari Karangan menuju Pos 1 adalah melewati ladang masyarakat, jalanan terkadang berlumpur, dan sesekali melewati sungai kecil. Di awal perjalanan ini saya tidak terlalu memperhatikan jalur, dan itu sangat fatal bagi saya pada waktu turunnya kelak. Banyak persimpangan sepanjang perjalanan menuju Pos 1. Adapun waktu tempuh kami hingga ke Pos 1 memakan waktu sekitar satu setengah jam, karena kami berjalan pelan. Oh ya, di perjalanan ini kami ditemani oleh tiga orang porter dari KPA Lembayung yang kesemuanya adalah anak muda, lebih muda dari saya, haha… Tim kami sendiri terdiri atas sembilan orang lelaki dan seorang perempuan yang merupakan senior saya sewaktu di kuliah. Beliau ikut karena suaminya juga ikutan, haha..
1384206_10202157955297474_3334849072896147917_n (pondokan sebelum Pos 1)

10440822_10202157958737560_9113430759794241927_n (jalur maut di Pos 2)
Pukul empat sore kami tiba di Pos 1, adapun Pos 1 berupa tanah gundul dan tidak ada mata air disekitar pos ini, dan menurut saya juga tidak cocok dijadikan lokasi perkemahan. Kami hanya berhenti sebentar disini karena berharap sampai di Pos 2 tidak kemalaman. Perjalanan menuju Pos 2 sendiri adalah memasuki kawasan hutan lebat dan gelap. Treknya terkadang naik dan kadang turun, tanahnya berlumpur, dan disebelah kirinya adalah jurang, sangat berbahaya. Di sepanjang trek ini tenaga saya terkuras, bahkan ada seorang teman yang hampir jatuh saat melewati kayu yang berfungsi sebagai jembatan darurat melewati jurang. Treknya cenderung banyak menurun karena ternyata Pos 2 berada di lembah.
Sekitar pukul setengah 6 kami pun sampai di Pos 2, dan ternyata sudah banyak pendaki lain yang tiba. Rupanya kami cukup apes karena hampir saja tidak mendapatkan lokasi untuk mendirikan tenda, dikarenakan rombongan pendaki yang telah tiba terlebih dahulu berjumlah lebih dari 30 orang, ternyata mereka berasal dari satu universitas di Makasar yang melakukan pendakian massal. Untuk melanjutkan perjalanan ke Pos 3 tim kami sudah tidak sanggup lagi dikarenakan trek dari Pos 2 ke Pos 3 itu adalah trek yang paling terjal. Pos 2 itu sendiri berada di sebelah sungai kecil yang sangat deras. Ada juga cekungan batuan serta tanahnya cukup datar sehingga Pos 2 merupakan tempat yang sangat ideal untuk mendirikan kemah walaupun luasnya tidak seberapa.
Setelah menunggu sekitar sejam, akhirnya kami pun kebagian tempat untuk mendirikan tenda walaupun letaknya tidak terlalu bagus, namun itu juga diperoleh setelah rombongan sebelumnya membereskan peralatan masak mereka dan barang mereka lainnya untuk memberikan tempat bagi kami, terima kasih.. Kegiatan malam itu kami isi dengan beristirahat penuh setelah makan malam karena badan yang sudah lelah serta berupaya mengumpulkan tenaga lagi untuk melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Beruntung cuaca pada malam itu cukup cerah, dan tidak ada hujan setelah sebelumnya hujan menyertai perjalanan kami di sepanjang perjalanan dari Pos 1 ke Pos 2.
10376063_10202157959977591_8595714843558663779_n
10380889_10202157964897714_5440985203196694452_n (Pos 2)
Hari 6:
Kami bangun cukup cepat keesokan harinya, saya tidur tidak terlalu nyenyak karena kedinginan. Setelah sarapan dan packing, sekitar pukul sembilan pagi, kami pun memulai pendakian kembali. Trek dari Pos 2 ke Pos 3 adalah trek yang paling terjal menurut saya, tingkat kecuraman bisa sampai 70 derajat kawan! Namun dikarenakan suasana pegunungan yang begitu terasa indah bagi saya, cuaca yang cukup cerah, dan bau pohon yang khas membuat saya tidak terlalu merisaukan trek. Saya begitu menikmati perjalanan ini. Adapun waktu tempuh dari Pos 2 ke Pos 3 sekitar satu jam perjalanan. Sesampai di Pos 3, tim kami mulai berpencar, ada rombongan yang cepat, rombongan menengah, dan rombongan sweeper, dan disitulah saya berada, hehe..

    Hanya beristirahat sejenak, kemudian perjalanan kami lanjutkan kembali menuju Pos 4. Trek dari Pos 3 ke Pos 4 tidak seperti trek sebelumnya, walaupun ada yang terjal tapi menurut saya cukup landai. Waktu tempuh dari Pos 3 ke Pos 4 sekitar sejam perjalanan juga. Keadaan Pos 4 sama seperti Pos 3, yaitu tanah datar dan tidak terlalu luas. Di Pos 3 dan Pos 4 tidak ada mata air.

Di Pos 4 lagi-lagi hanya beristirahat sekadarnya sembari menikmati cemilan dan minum, kami melanjutkan perjalanan kembali. Trek menuju Pos 5 dari Pos 4 cukup jauh, sekitar satu setengah jam perjalanan. Walaupun treknya terkadang terjal, namun cukup landai juga seperti dari Pos 3 ke Pos 4. Sesampai di Pos 5, waktu sudah menunjukkan pukul dua siang, dan di Pos 5 juga tim kami yang semula berpencar akhirnya berkumpul lagi. Adapun Pos 5 sendiri berupa tanah datar yang luas, dan juga terdapat mata air sehingga banyak pendaki sering bermalam di sini. Di Pos 5 kami makan siang seadanya saja, dan tidak makan berat, serta mengisi perbekalan air.

10173797_10202157993658433_5599229530705789623_n
Setelah beristirahat cukup lama, kami pun berjalan lagi menuju Pos 6. Memang target kami hari ini adalah sampai ke Pos 7 dan bermalam disana, disambung muncak keesokan harinya. Trek dari Pos 5 ke Pos 6 terjal juga, dan sesekali ada jalan bonus, lama perjalanan sekitar satu jam. Di Pos 6 sendiri berupa tanah datar yang tidak terlalu luas serta terbuka, tidak ada mata air disekitarnya. Hanya beristirahat sejenak kami berjalan kembali menuju Pos 7. Dan trek dari Pos 6 menuju Pos 7 sendiri juga cukup terjal dan sesekali ada jalan bonus. Disini vegetasi tanamannya mulai berubah, pepohonannya semakin pendek dan berdaun jarang. Dan segera saja hutannya berubah menjadi hutan lumut yang indah menurut saya. Jarak tempuh dari Pos 6 ke Pos 7 sekitar satu setengah jam perjalanan.

Tiba di Pos 7 hari sudah sore, matahari hampir tenggelam. Teringat bahwa saya belum sholat, sehingga memutuskan untuk sholat terlebih dahulu, cuaca sangat dingin sekali. Angin senja menerpa saya saat sholat dan saya menggigil kedinginan. Bahkan salah seorang teman saya juga dengan pedenya membuka baju, dan akhirnya ikut kedinginan juga, hahaa..memang sewaktu berjalan dari Pos 6 ke Pos 7 kami kegerahan. Namun sesampai di Pos 7 cuaca tiba-tiba berubah menjadi dingin sekali. Lokasi Pos 7 cukup datar, dan memiliki lokasi terbuka, pepohonan pendek terdapat di sekitarnya sehingga wajar saja angin langsung menerpa kami yang beristirahat di pos tersebut. Terdapat mata air bersih di sekitar Pos 7, agak mlipir kebawah untuk mencapai lokasi mata air, sehingga para pendaki terkadang ada juga yang mendirikan tenda di pos ini.



Ternyata kami tidak mendirikan tenda di Pos 7, namun berjalan agak kedepan lagi, karena di Pos 7 itu sangat tidak kondusif untuk mendirikan tenda. Disamping tempatnya yang terbuka, yang pasti angin langsung menerpa kita, juga tidak terlalu luas. Saya segera berjalan kembali menuju tenda kami didirikan, dan malam pun menjelang. Cuaca sangat dingin, saya menggigil dengan hebat. Ya benar, cuacanya sangat dingin. Ada sekitar lima belas menit berjalan, dan akhirnya kami menemukan posisi tenda kami. Adapun malam itu saya menggigil kedinginan lagi, walaupun sudah memakai jaket yang tebal. Suhunya menurut saya sangat ekstrim. Kegiatan malam itu kami isi dengan beristirahat, dan tidak melakukan banyak aktivitas.
10441198_10202158005898739_5635977972779598086_n
Hari 7:
10274015_10202158018099044_1894861563431237736_n
10349014_10202158031339375_3776439198349436096_n
Pagi harinya, sekitar pukul  6 pagi, kami bergegas muncak. Memang dari awal kami tidak berniat untuk mencari sunrise pagi itu. Jarak puncak Latimojong dari lokasi kami berkemah hanya sekitar setengah jam saja. Namun, jalurnya cukup terjal, dan memiliki banyak simpang, sehingga harus berhati-hati memilih jalur. Sekitar pukul tujuh kurang, sampailah kami di puncak tertinggi pulau Sulawesi, ya puncak Rante Mario, 3478 mdpl!! Saya segera sujud syukur kepada Sang Pencipta, bersyukur diberikan kesempatan untuk menikmati keindahan dan kebesaran ciptaan-Nya. Alhamdulilah….

10406376_10202158022019142_2466931439728929710_n

Cuaca di puncak sangat dingin, saya yang sudah memakai pakaian berlapis saja masih kedinginan. Kami di puncak ada sekitar setengah jam saja. Puas mengabadikan momen, kami pun segera beranjak pulang. Sesampai di tenda, kami pun segera packing. Rencana kami hari ini adalah segera turun dan berharap sore sudah sampai kembali di Basecamp Karangan.
Pada saat perjalanan turun, tim kami terpencar kembali menjadi tiga bagian, rombongan yang dipimpin Fauzan melesat pertama, selanjutnya adalah saya, dan terakhir rombongan teman-teman lainnya. Medan pendakian yang sangat menyiksa, membuat perjalanan turun ini terasa sama melelahkannya dengan saat naik, terkadang saya harus berhenti untuk melemaskan kaki yang sudah mulai kram.
Tiba kembali di Pos 2 yang menjadi tempat kemah saat naik, waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, saya bertemu dengan rombongan Fauzan. Jarak kami ternyata lebih dari setengah jam, cukup jauh juga ternyata. Di Pos ini saya sholat dan makan cemilan seadanya, serta melemaskan otot-otot yang sudah tegang. Tak lama kemudian rombongan Fauzan pun melanjutkan perjalanan, sebenarnya saya ingin mengikutinya, namun dikarenakan waktu itu kaki saya masih lemas, saya terpaksa menunda keberangkatan saya. Asumsi yang saya peroleh dari keterangan teman-teman pendaki lainnya, jarak antara Pos 2 dengan desa sekitar dua jam. Kala itu waktu masih menunjukkan pukul hampir setengah lima sore.
Saya pun dengan pede memulai berjalan sendirian lagi, keterangan dari porter yang ditemui di Pos 2 mengatakan tidak akan ada jalur yang membingungkan, hanya berbelok ketika sudah memasuki perkebunan warga. Disinilah letak kesalahan saya yang kedua, yaitu berjalan sendirian. Dan kesalahan saya yang pertama adalah tidak mengingat jalur pendakian awal dari desa ke Pos 2 dikarenakan keasikan ngobrol dengan porter sepanjang perjalanan. Yang saya ingat hanyalah medan dari Pos 1 ke Pos 2 sangat sulit, dimana di sebelah kiri jurang, ditambah kondisi jalur yang licin dan berlumpur.
Saat saya sudah berada di tengah perjalanan, hujan kembali mengguyur, jalur kembali sangat licin, dengan sangat perlahan saya menyusuri jalur sembari berpegangan dengan tanaman-tanaman yang tumbuh di pinggir jalur. Perkiraan saya jarak Pos 2 ke Pos 1 hanyalah satu jam, yang ternyata salah, karena setelah lama berjalan, saya belum juga keluar dari hutan. Sekadar informasi, jalur Pos 2 ke Pos 1 adalah menembus hutan lebat. Namun saya masih pede bahwa jalur saya benar dikarenakan terdapat beberapa pita tanda penunjuk jalan di sepanjang jalur. Jadi ketika saya mulai merasa ragu terhadap jalur tersebut, saya kemudian melirik kiri kanan untuk menemukan pita, dan setelah menemukannya, merasa lega, dan kembali berjalan.
Pukul enam sore, akhirnya saya keluar dari hutan tersebut, dan dikejauhan terlihat papan penunjuk Pos 1, alhamdulilah, batin saya. Sempat beristirahat di Pos 1, namun hanya sebentar, karena senja sudah turun. Syukurnya hujan telah berhenti. Dari belakang, sama sekali tidak terlihat pendaki yang menyusul, dan di depan sama sekali tidak terlihat juga rombongan pendaki ataupun penduduk lokal. Saya melanjutkan perjalanan kembali, disini saya hanya mengingat satu spot saja, yaitu gubuk di samping sungai kecil, dan malam pun menjelang, sehingga saya pun menyalakan senter.
Selanjutnya, saya sudah tidak ada ingatan sama sekali dengan jalur tersebut, yang saya ingat adalah, hanya terdapat satu jalur saja, dan ada pertigaan, satu menuju ke desa, satu kembali ke arah hutan. Kegelapan menyelimuti areal perkebunan, saya berjalan dengan perlahan, disini saya sudah gamang, sambil terus mengingat Tuhan. Saya banyak berdoa, sembari mengusir ketakutan, yah, bagaimanapun, selain takut salah jalan, saya juga takut adanya makhluk halus yang mengganggu. Apalagi informasi tentang jalur Latimojong ini sedikit sekali yang saya dapatkan dari internet.
Semakin jauh saya melangkah, saya menemukan persimpangan lagi, satu ke arah atas, satu ke arah bawah, disini saya benar-benar tidak ingat sama sekali. Walaupun saya sudah sering naik gunung, namun kala itu, saya benar-benar bingung untuk menentukan arah. Pita-pita yang sepanjang pendakian sangat membantu, namun begitu malam tiba, tidak terlihat lagi, atau mungkin bahkan tidak ada lagi sejak memasuki areal ladang warga. Terkadang memang saya masih melewati hutan. Ketika itu waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam.
Ada sekitar satu jam saya bolak-balik, pertama saya mengambil persimpangan ke arah bawah, namun setelah cukup jauh berjalan, ternyata  dan memasuki areal hutan lagi sehingga saya ragu, dan memilih kembali ke persimpangan lagi. Ketika saya melihat cahaya, saya mengira itu adalah cahaya senter pendaki yang telah sampai juga, ketika saya kejar kebelakang, ternyata hanyalah cahaya kunang-kunang.
Pun ketika saya memutuskan untuk mengambil persimpangan ke atas, saya meninggalkan tas dan berjalan. Namun, setelah di atas, tidak ada sama sekali jejak kaki di lumpur di jalur, sehingga saya ragu juga, karena saya berpikir rombongan Jane pastilah kalau lewat jalur ini akan meninggalkan jejak langkah. Saya kembali ke tempat asal, dimana tas saya lepaskan, dan mulai duduk. Saya berpikir, apa saya salah mengambil jalur sebelumnya?
Setelah cukup lama duduk di persimpangan karena lelah bolak-balik, tiba-tiba di kejauhan saya melihat cahaya beriringan, sempat ragu itu cahaya kunang-kunang lagi. Lama saya perhatikan, dan saya mengambil keputusan untuk mencari tahu. Saya memanggul tas saya, dan mengejar cahaya tersebut, dan alhamdulilah, ternyata rombongan pendaki asal Bandung yang sempat turun bersama sebelumnya. Pastilah mereka mengira saya makhluk jadi-jadian atau apalah, karena kondisi saya yang ngos-ngosan dan berkeringat, saya menyapa mereka dan berkata saya bingung terhadap jalur turun. Mereka hanya tertawa kecil, dan mengajak untuk turun bersama. Selanjutnya kami pun akhirnya sampai di desa.
Tiba di desa, saya agak kesulitan mencari posisi Basecamp, dikarenakan malam yang sudah menyelimuti dusun, dan juga orientasi saya terhadap jalan di dusun kala itu blank sama sekali. Namun akhirnya, setelah bertanya sana-sini, sampai juga saya di Basecamp, yang tak lain rumah Kepala Dusun. Saya disambut Fauzan dan lainnya, sembari bertanya kenapa sendirian. Sekitar satu jam berselang, teman saya Pardamean juga tiba sendirian, haha, dan ternyata dia juga sempat mutar-mutar sendirian di persimpangan dimana saya juga bingung tadi. Sepertinya untuk kedepannya perlu dibuat papan penunjuk arah rasanya.
Setelah menunggu hingga pukul 11 malam, teman kami yang lainnya belum juga sampai. Kami sudah khawatir dan mulai berpikir bahwa mereka melanjutkan menginap di Pos 2, karena berdasarkan informasi dari Pardamean, dia juga sudah ketemu rombongan di Pos 2. Kami pun berembuk, dan sepakat seperti yang kami asumsikan sehingga kami pun beranjak tidur. Kami juga cukup tenang dan tidak terlalu cemas mengingat semua porter yang kami bawa berada di kelompok belakang.
Sekitar pukul 12 malam, saat mulai terlelap, tiba-tiba dua orang teman sampai di Basecamp. Kami pun terkejut bukan main. Mereka menjelaskan kondisi terkini bahwa beberapa teman kami ada yang tidak sanggup berjalan kembali karena mengalami kram. Mereka ternyata berada di pondokan penduduk di sekitar Pos 1. Setelah berembuk, diputuskan tiga orang dari kami menyusul kesana seraya membawa bahan makanan dan baju hangat.
Keesokan harinya barulah tim kami berkumpul kembali semua. Ternyata tim yang menyusul tadi malam ikut bermalam disana mengingat ada teman yang tidak memungkinkan untuk berjalan kembali malam itu karena butuh istirahat. Alhamdulilah, semua selamat kembali ke Basecamp tanpa kekurangan apa pun. Setelah itu kami istirahat sambil menunggu mobil Jeep menjemput kami kembali. Sekitar pukul 10 siang, kami pun meninggalkan Basecamp Karangan, dan empat jam kemudian sudah sampai kembali di rumah Pak Dadang, di Baraka.
Terima kasih yang sebesar-besarnya buat tim saya, buat Pak Dadang dan KPA Lembayung, buat para porter kami, buat Bapak sopir mobil Jeep, dan buat Bapak Kepala Dusun Karangan. Oh ya, sebagian besar dari foto yang ada di Catatan Perjalanan ini adalah hasil jepretan teman saya Pardamean Harahap yang dengan cemerlang mengabadikan momen yang ada. Banyak sih sebenarnya fotonya, tapi hanya sebagian kecil yang saya muat di Catatan Perjalanan ini, dan atas seizin beliau. Dan, saya senang mendapat kenalan baru dari perjalanan kali ini. Alhamdulilah… see you guys, on the next journey!!

10414909_10202158029099319_7491419887082695578_n

Parangloe Waterfall


INDAHNYA AIR TERJUN PARANGLOE [GOWA] SULAWESI




air terjun parangloe terdapat di kabupaten gowa kecamatan parangloe sulawesi selatan untuk menuju kesini tidaklah sulit di karenakan akses menuju lokasi ini tidaklah jauh dari jalan poros makasar-malino dan berjarak hanya kurang lebih 25km dari kota makasar



air terjun Parangloe, wajah asli Air Terjun ini nampak terlihat. Deburan air yang gemuruh, jernih air yang mengalir, sejuknya suasana, segarnya udara, indahnya pemandangan, langsung dapat Saya lihat dan rasakan. Untuk di wilayah Sulawesi Selatan, mungkin Air Terjun Parangloe merupakan Air Terjun terindah karena memiliki air terjun yang bertingkat, susuan batu yang menarik dan airnya yang jernih. Tempat ini masih sangat asri, masih jarang orang yang datang berkunjung



  campur2 macem2 yang punya info lebih mohon di tambahkan yah.... terima kasih

KEINDAHAN TERSEMBUNYI AIR TERJUN PARANGLOE 

     Kota besar di Indonesia umumnya memiliki banyak sekali tempat wisata yang menarik untuk di kunjungi. Sama dengan Kota Makassar yang memiliki begitu banyak tempat wisata alam baik di daerah pesisir dan juga pegunungannya. Dari semua tempat wisata alam yang ada semua dapat dijangkau oleh beberapa hotel terkenal di Kota Makassar sehingga memudahkan akses ketika ingin berwisata. Salah satu tempat wisata yang mulai ramai di bicarakan adalah kawasan wisata air yang berada di Kecamatan Parangloe yaitu Air Terjun Parangloe.
Air Terjun Parangloe atau yang dikenal dengan nama lain “Bantingmurung II” merupakan salah satu air terjun terindah di wilayah Sulawesi Selatan karena pesona alam nya yang masih nampak alami dan asri, sehingga kita bisa menyebutnya sebagai Niagara-nya Indonesia

Rute Perjalanan Menuju Air Terjun Parangloe

Rute Perjalanan Menuju Air Terjun Parangloe
Air Terjun Parangloe terletak di Kecamatan Parangloe, Kabupaten Gowa atau berjarak sekitar kurang lebih 50 Km dari Kota Makassar. Untuk mencapai lokasi ini tidaklah sulit, dari Kota Makassar kita bisa langsung mengikuti jalan poros Malino dengan waktu tempuh perjalanan kurang lebih 2 jam.
Tidak hanya sampai disitu untuk bisa menikmati pemandangan eksotis Air Terjun Parangloe, banyak medan yang harus dilalui pengunjung. Perlu di informasikan bahwa Air Terjun Parangloe merupakan bukan wisata umum jadi kurang tersedianya petunjuk dan arah akan sedikit menyulitkan pengunjung untuk bisa mencapainya, tapi inilah tantangan bagi traveller yang penasaran ingin melihat keindahan alamnya.
Untuk mencapai tempat ini pengunjung harus menempuh jarak kurang lebih 2 Km dengan berjalan kaki melewati hutan tropis dari pintu masuk Air Terjun Parangloe. Alasannya karena jalanan yang rusak dan terjal sehingga menyulitkan kendaraan pribadi dan umum melewatinya. Untuk itu bagi para pengunjung dapat memarkirkan kendaraan di Kantor Perhutani di Jalan Poros Malino.

Air Terjun Parangloe

Perjalanan Menempuh Air Terjun Parangloe Dengan Berjalan Kaki Melalui Hutan Tropis
Selama menyusuri hutan tropis, pengujung akan dibuat penasaran dengan suara gemuruh gemercik air dari jauh seakan menuntun pengunjung untuk segera menuju ke Air Terjun Parangloe dengan di temani beragam flora dan fauna di hutan tropis.
Air Terjun Parangloe bisa dikatakan air terjun yang masih sangat alami, indah, dan mengagumkan . Karena air terjun ini memiliki susunan batu yang tersusun rapi secara alami dengan tinggi mencapai 20 meter, air yang mengalir jernih dari sumber mata air, udaranya yang segar dan sejuknya suasana langsung dapat kita lihat dan rasakan seakan beban dan lelah dalam perjalanannya terbayarkan dengan keindahannnya alamnya.

Susunan Batu Air Terjun Parangloe
Susunan Batu Air Terjun Parangloe

Menikmati Pemandian Di Air Terjun Parangloe

Menikmati Pemandian Di Air Terjun Parangloe
Dengan keindahan seperti ini akan membuat jiwa kita tenang merasakan indahnya alam. Pantaslah kalau kita menyebut Aiir Terjun Parangloe seperti surga dunia yang tersembunyi di balik belukar hutan. Dan jangan lupa untuk bermain air dengan teman atau keluarga agar perjalanan anda lebih bermakna. Pemandangan antara hijaunya alam, birunya langit dan alunan gemercik air terjun pokoknya lokasi ini sangat tepat dijadikan tempat refleksi diri.
Nah sekedar tips ketika ingin berkunjung ke Air Terjun Parangloe perlu diperhatikan beberapa hal berikut sehingga perjalanan anda menyenangkan
  1. Saat ingin berkunjung ke Air Terjun Parangloe pastikan anda tidak berangkat saat musim hujan, karena dibalik keindahan Air Terjun Parangloe juga terdapat bencana alam seperti air bah sehingga air yang mengalir sangat deras.
  2. Pastikan ketika anda ingin memasuki kawasan Air Terjnn Parangloe dengan melewati hutan tropis sebaiknya didampingi oleh guide local yang sudah memahami medan.
  3. Dalam perjalanan tidak disarankan membawa kendaraan menuju lokasi air terjun karena akses jalan yang kurang memadai untuk dilalui kendaraan.
  4. Tidak disarankan untuk menginap tanpa pengawasan.
  5. Disarankan untuk membawa bekal sendiri karena Kawasan Air Terjun Parangloe bukan tempat wisata umum.
  6. Tetap jaga kebersihan lingkungan di sekitar kawasann Air Terjun Parangloe.
  7. Tetap perhatikan himbauan dan peringatan yang dipasang.

Takapala Waterfall








Menikmati Keindahan Dan Gemuruh Suara Air Terjun Takapala

    
    Makassar terkenal akan keindahan alamnya yang sangat memikat hati wisatawan yang datang ke kota daeng untuk menikmati liburan dan akhir pekan yang panjang. Salah satunya adalah Kawasan Wisata Malino yang memiliki berbagai macam destimasi wisata didalamnya. Dan jangan lupa untuk mengunjungi perkebunan teh Malino Hihgland yang hijau dan sejuk. Semua tempat wisata di Malino sangat mudah terjangkau dari beberapa hotel di Makassar sehingga jangan khawatir melewatkan momen liburan terindah dari kota daeng.
Ketika kamu mengunjungi dan masuk kedalam perkebunan teh nya, sebaiknya kamu jangan buru-buru meninggalkan perkebunan teh nya karena tidak jauh dari hamparan kebun teh hijau tersebut kamu akan mendengar gemuruh air yang merdu dan syahdu yang bersumber di balik perkebunan teh nya. Saat kamu mengikuti suara tersebut kamu akan menemukan air terjun malino.

Air Terjun Takapala

Air Terjun Takapala
Air terjun Malino atau dikenal dengan Air Terjun Takapala merupakan salah satu destinasi wisata dari Kawasan Malino sendiri. Letaknya kurang lebih 5 Km dari perkebunan teh Malino Highland yang berada di Desa Bulu’tana Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa. Untuk mencapai Air Terjun Takapala, cukup berjalan kaki melalui kebun teh tanpa perlu balik ke pintu keluarnya.
Air Terjun Takapala merupakan salah satu dari dua air terjun yang dimiliki Malino. Air Terjun Takapala memiliki ketinggian 100 meter dengan debit air  cukup besar yang dapat membuat kabut sekitar 20 meter, sehingga jangan heran jika kamu dapat melihat cahaya seperti pelangi di air terjun ini. Dan di sekeliling air terjun terdapat tebing curam dengan corak unik yang membuat kesan air terjun ini nampak masih alami.

Pelangi di Air Terjun Takapala

Pelangi Di Air Terjun Takapala
Karena objek wisata ini masih ditangani orang lokal, maka segala fasilitasnya masihlah sederhana namun sudah lengkap. Jika ingin berlama-lama menikmati gemuruh air terjun, kamu bisa menyewa pendopo atau bisa juga menginap di rumah warga didalamnya. Semua terasa lokal sehingga menunjukkan bahwa air terjun ini masih alami dan natural.
Untuk menikmati pemandangan air terjun lebih dekat dan natural, para pengunjung bisa menaiki bukit batu yang dikenal dengan  1000 anak tangga untuk memudahkan pengunjung melihat dari dekat air terjun Takapala. Tak lengkap sepertinya jika hanya datang untuk melihat-lihat pemandangannya, kamu bisa menikmati segarnya air terjun dengan mandi di dasar air terjun Takapala. Untuk mendapatkan pengalaman lebih, cobalah mencari goa yang berada dibalik air terjunnya, kamu akan menemukan sesuatu yang unik.

Air Terjun Takapala

Menikmati pemandian di air terjun takapala bersama sahabat dan keluarga
Karena objek wisata ini masih bernuansa lokal, ada baiknya kamu meningkatkan kesiap-siapgaan ketika mengunjungi Air Terjun Takapala.
  1. Ada baiknya saat mengunjungi Air Terjun Takapala jangan pada saat musim hujan.
  2. Derasnya Air Terjun Takapala dapat membuatmu kebahasan, sebaiknya kenakan jas hujan atau payung ketika mendekati air terjun atau siapkanlah baju ganti.
  3. Karena tekanan air nya yang cukup deras sebaiknya jika kamu ingin berenang cukup di pinggiran air terjunnya.
  4. Jika ingin menikmati pemandangan indah di bawah kaki air terjun Takapala, tetaplah berhati-hati karena batuan besar dan kecil didekatnya sangatlah licin.
  5. Tetaplah menjaga kebersihan lingkungan demi kenyamanan bersama.

Selamat membaca artikel yang saya buat,semoga bermanfaat bagi yang ingin berlibur diwisata Air Terjun TAKAPALA (Takapala Waterfall). Dan jangan lupa untuk mengikuti blog saya :D

- Terima Kasih                  : Indonesia
- Thank you                      : Inggris
- 사랑을 허용             : Korea
قبلت الحب                         : Arab
- を受け入れ              : Jepang
- 接受                       : Korea
- ได้รับการยืนยันความรัก  : Thailand

Bawakaraeng Mountain








Beberapa Cerita Tentang Gunung Bawakaraeng


Beberapa Cerita Tentang Gunung Bawakaraeng
 
Pohon-pohon pinus di Kawasan Wisata Puncak Malino
Gunung Bawakaraeng adalah gunung yang terletak di kampung Lembanna. Masuk dalam kawasan wisata puncak Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Dapat ditempuh sekira tiga jam perjalanan dari Makassar dengan berkendaraan darat ke arah selatan. Bawakaraeng, secara bahasa, berarti mulut tuhan. Diambil dari bahasa Makassar: bawa artinya mulut; karaeng artinya tuhan. Siapa yang memberikan nama dan apa latar belakangnya, penulis tidak mendapatkan data tentang itu. Yang jelas, gunung Bawakaraeng bukanlah mulut tuhan dalam arti yang sebenarnya.

Pemandangan Pos 5 yang sering terjadi badai
Pemandangan Pos 5 yang sering terjadi badai
Pemandangan dari Pos 7, puncak bukit I Bawakaraeng
Pemandangan dari Pos 7, puncak bukit I Bawakaraeng
Masih pemandangan lain dari Pos 7
 
Masih pemandangan lain dari Pos 7
Bawakaraeng terdiri dari bukit-bukit yang berjejer megah. Bukit tertinggi memiliki tinggi sekira 2.700 meter di atas permukaan laut. Untuk mendakinya sampai ke puncak, kita harus menyusuri dua bukit dan 10 pos jalur pendakian. Pepohonan lebat beragam jenis, kabut tipis, sungai kecil, dan pelbagai keindahan alam lainnya akan menghiasi setiap jalur pendakian dari pos ke pos hingga ke puncak.

Pemandangan dari pos 10, puncak tertinggi Bawakaraeng
Pemandangan dari pos 10, puncak tertinggi Bawakaraeng
Masih pemandangan dari puncak II, Pos 10
 
Masih pemandangan dari puncak II, Pos 10
Trianggulasi (tanda ketinggian) di puncak Bawakaraeng
 
Trianggulasi (tanda ketinggian) di puncak Bawakaraeng
Mereka yang Mati Pada 1980-an, seorang pendaki wanita bernama Noni bunuh diri di pos 3 Bawakaraeng. Dia menggantung dirinya di sebuah pohon. Dugaan penyebabnya karena patah hati.
Pohon itu masih berdiri hingga kini. Bentuknya anker, seanker kejadian di baliknya. Batangnya besar bercabang; daunnya habis ‘tak tersisa. Bagi yang sudah mendaki Bawakaraeng, pasti kenal betul dengan pohon itu karena pohon itulah yang menjadi penanda pos 3.
Karena alasan mistis, para pendaki enggan mengabadikan pohon itu dalam bentuk foto maupun video. Bahkan mereka juga enggan singgah di pohon itu. Beberapa kesaksian menjelaskan bahwa kejadian aneh terjadi waktu mereka singgah di pohon itu: tiba-tiba hujan, angin kencang, dan lainnya, entahlah! Penulis sendiri tidak terlalu percaya cerita tersebut.
Beberapa pendaki juga mati di Bawakaraeng. Badai, suhu dingin, kelaparan, adalah sebagian dari penyebabnya. Pusara yang terpasang menjadi penanda sejarah mereka. Paling terakhir, matinya dua mahasiswa Geologi Universitas hasanuddin, Awy dan Iccank, di Pos 5 karena badai. Penulis hanya mendapati pusara Awy.

Pemandangan pos 5 yang sering terkena badai
 
Pemandangan pos 5 yang sering terkena badai
Longsor yang Menimbun Pada 2004 silam, longsor terjadi di salah satu bukit Bawakaraeng. Bukit itu terlihat jika kita berjalan menurun dari pos 7 menuju pos 8, seperti gunungan ice cream yang sudah digigit. Akibat longsor, pos 8 lama yang berbentuk padang luas dengan ilalangnya harus berganti dengan pos 8 baru yang gersang, dekat telaga Bidadari yang kering kerontang, hanya menyisakan air yang cokelat dan kotor.

Telaga Bidadari yang kering kerontang
 
Telaga Bidadari yang kering kerontang
Longsor itu juga menimbun kampung-kampung kecil di lereng Bawakaraeng, tanpa sisa. Lumpur bawahannya malah sempat membuat khawatir sebagian orang karena dianggap tekanannya akan merobohkan bendungan bili-bili, tapi syukurlah, hal tersebut tidak menjadi kenyataan.
Longsoran Bawakaraeng, seperti potongan ice cream
 
Longsoran Bawakaraeng, seperti potongan ice cream
Ritual Di Bawakaraeng Setiap hari raya Idul Adha, banyak warga dari berbagai daerah menuju ke puncak Bawakaraeng untuk melakukan salat Idul Adha dan ritual. Mereka datang sehari sebelum hari raya dan bermalam di puncak dengan bekal dan pakaian seadanya.

Beberapa warga yang melakukan ritual
 
Beberapa warga yang melakukan ritual

Tempat tidur warga
 
Tempat tidur warga
Esok subuh, mereka pun memulai salat Idul Adha dan ritual. Mereka memberikan sesajian-sesajian untuk mencari berkah dan keselamatan: gula merah untuk mencari manisnya dunia, kelapa untuk mencari nikmatnya dunia, lilin untuk mencari terangnya dunia, dan sebagainya.

Warga yang salat bersama sesajian beras dan telur dalam kantung plastik
 
Warga yang salat bersama sesajian beras dan telur dalam kantung plastik
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa warga ke puncak Bawakaraeng untuk melaksanakan ibadah haji, tapi pendapat tersebut dibantah oleh Tata Rasyid, penjaga dan penolong Bawakaraeng. Tata Rasyid menegaskan, “Yang benar itu warga naik ke puncak untuk lebaran haji, bukan naik haji. Naik haji itu di Mekkah.”

Warga salat di menghadap trianggulasi di puncak Bawakaraeng
 
Warga salat menghadap trianggulasi di puncak Bawakaraeng (foto: Edelweis Sastra Unhas)
Beberapa keindahan Gunung Bawakaraeng:
Pohon besar di pos 4
Pohon besar di pos 4

Penulis dan teman-teman lagi ngopi dan ngeroti di pos 2
Hutan pinus di pos 1
Hutan pinus di pos 1
Gunungnya tinggi seperti hatiku (Nusantara, Koes Plus)
Gunungnya tinggi seperti hatiku (Nusantara, Koes Plus)
Tidak tahu buah apa ini? Hehehe....
Tidak tahu buah apa ini? Hehehe....
Penulis dan teman-teman di pos 9 menuju pos 10...kayak di dasar laut yah, bukan?
 
Penulis dan teman-teman di pos 9 menuju pos 10...kayak di dasar laut, bukan?
Demikianlah teman-teman pembaca, beberapa cerita tentang gunung Bawakaraeng. Bagi yang belum puas, silahkan mendaki sendiri sampai ke puncaknya. Dari Makassar, naik mobil angkot warna merah jurusan Sungguminasa, bayar Rp 3.000. Turun di terminal Sungguminasa, naik angkot jurusan Malino, bayar Rp 25.000, dijamin diantar sampai ke kampung Lembanna. Di Lembanna, jalan kaki sampai ke puncak gunung. "Berbagi waktu dengan alam, kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya,"

17 AGUSTUS DIBAWAKARAENG

    Bawakaraeng Moutnain - Hari Kemerdekaan ke-70 Indonesia turut dirayakan para pecinta alam dan penggiat lingkungan. Ribuan pendaki terdata memadati Gunung Bawakaraeng di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Kepala Seksi Operasi Basarnas Makassar Deden Ridwansyah mengatakan, sesuai pendataan Posko Siaga SAR Merah Putih, jumlah pendaki yang melakukan pendakian ke Gunung Bawakaraeng berjumlah 6.453 orang.

"Kami melakukan pendataan sejak Jumat malam. Jumlah pendaki pun bertambah hingga hari ini," tutur Deden saat dihubungi di Makassar, Senin (17/8/2015).

Deden menjelaskan, ribuan pendaki tersebut membagi 2 titik kegiatan upacara pengibaran bendera merah putih, yakni di Puncak Gunung Bawakaraeng dan Lembah Ramma yang juga masih dalam kawasan pegunungan Bawakaraeng.

"Namun sebagian besar pendaki ke puncak Gunung Bawakaraeng yakni 70 persen dari data dan selebihnya upacara di lembah Ramma,"

Rabu, 16 September 2015

Rammang-Rammang



Melihat Lebih Dekat Rammang-Rammang

Salah satu sudut Rammang-Rammang

Salah satu sudut Rammang-Rammang

Setelah lama mendengar dan melihat banyak foto tentang Rammang-Rammang, akhirnya saya bisa menginjakkan kaki ke tempat itu. Harus saya akui, Rammang-Rammang memang memukau.

Akkulle jaki appalimbang anne bangngiya? (Bisakah menyeberangkan kami malam ini? ? Makassar)”, Tanya saya lewat telepon.
Akkulleji, mingka kitayang-tayangmi rong di. Kammpi anjo mae tette salapang. (Bisa, tapi tunggu sebentar ya? Mungkin sekitar jam sembilan)” Jawab daeng Beta di seberang telepon.
Daeng Beta adalah salah satu pemilik perahu di dermaga Rammang-Rammang. Malam itu saya dan tujuh teman lain dari komunitas Blogger Makassar memang berniat untuk melihat lebih dekat kawasan karst bernama Rammang-Rammang di Kabupaten Maros.
Rammang-Rammang masuk dalam kawasan karst yang membentang di kabupaten Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan. Kawasan karst (yang asal katanya dari bahasa Yugoslavia/Slovenia) ini luasnya sekitar 45.000 hektar di mana 20.000 hektar di antaranya masuk dalam kawasan taman nasional Bantimurung, Maros. Kawasan karst ini termasuk kawasan karst terbesar kedua di dunia setelah kawasan karst di Yunnan, Tiongkok Selatan. Tahun 2001 UNESCO memasukkan kawasan karst Maros-Pangkep sebagai kawasan cagar alam yang telah memenuhi 9 syarat termasuk keragaman hayati yang unik dan tentu saja sisa peninggalan manusia purba di beberapa dinding gua.


Kawasan karst Rammang-Rammang
Dusun Rammang-Rammang sebagai salah satu bagian wilayah karst itu belakangan mulai populer sebagai tujuan wisata. Kawasan Rammang-Rammang adalah salah satu kawasan yang mudah dijangkau dari kota Makassar. Jaraknya sekisar 37 km ke arah utara dan dapat dijangkau dengan perjalanan darat selama kurang lebih 1 jam.
    Ada beberapa daerah di dusun Rammang-Rammang yang dapat dijelajahi, tapi malam itu kami memutuskan untuk masuk ke Kampung Berua yang harus dicapai dengan menyusur sungai selama kurang lebih 30 menit. Air sungai sedang surut malam itu ketika kami menanti di dermaga Rammang-Rammang. Waktu jam 9 yang dijanjikan daeng Beta bukan tanpa alasan, di jam itu ketinggian air mulai naik dan bisa dilewati perahu kecil berukuran lebar tak lebih dari 1 meter dengan panjang sekisar 5 meter. Satu perahu maksimal hanya bisa memuat 6 orang termasuk nakhoda.
Sekisar pukul 9.30 malam daeng Beta akhirnya datang. Dia diahului satu perahu milik adik iparnya, karena jumlah kami yang lebih 5 orang maka kami butuh dua perahu untuk bisa sampai ke tujuan. Satu perahu dibanderol Rp. 200.000,- pergi-pulang. Dengan sangat hati-hati kami naik ke perahu, tinggi air di dermaga tidak sampai sepinggang orang dewasa atau sekisar 80an cm. Satu per satu kami naik ke perahu, benar-benar butuh nyali besar karena perahu bergoyang keras bahkan terasa nyaris terguling.


Dermaga Rammang-Rammang dari atas jembatan
Perjalanan ke Kampung Berua buat saya sedikit mencekam, maklum malam sudah mulai larut dan ketinggian air sebenarnya tidak nyaman untuk dilewati perahu. Daeng Beta yang menyetir harus benar-benar ekstra hati-hati menyusuri sungai, jangan sampai perahu menabrak karang. Bisa-bisa bocor dan fatal akibatnya. Beruntung malam itu purnama memberi sedikit cahayanya meski dia tersaput awan. Dengan bantuan purnama dan head lamp di kepala daeng Beta kami menerobos gelapnya malam di atas sungai dengan hati-hati.

Akhirnya Tiba
Harusnya saya bisa menikmati perjalanan itu, maklum pemandangan di kanan-kiri terlihat sangat menggoda. Gugusan karst berada di belakang deretan bakau dan pohon nipah. Siluet yang muncul dari cahaya bulan yang redup membawa suasana gabungan antara mistis, misterius dan membuat penasaran. Sayang, kondisi kapal yang oleng ke kanan dan ke kiri membuat saya tidak henti-hentinya berdoa semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk. Saya tidak kuatir pada hewan liar seperti buaya atau ular yang mungkin ada di sungai, saya lebih kuatir pada kamera di dalam tas.
“Kalau perahunya oleng dan kita jatuh ke sungai bisa-bisa kamera basah.” Hanya itu yang saya kuatirkan.
   Perjalanan sekisar 30 menit itu terasa sangat lama. Sesekali saya masih bisa menikmati goresan alam yang ada di sekeliling, utamanya ketika perahu harus melewati tebing serupa goa. Cahaya purnama yang temaram menambah aroma mistis malam itu. Sayang karena suara mesin perahu yang cempreng sedikit banyak menghalangi kita untuk menikmati suasana sepenuhnya.


Desa Kampung Berua di pagi hari
Ketika akhirnya tiba di dermaga Kampung Berua, rasanya benar-benar lega. Kampung Berua adalah kampung kecil yang hanya diisi oleh 15 rumah yang saling berjauhan. Di tengah-tengah perkampungan ada sawah luas dan beberapa empang ikan. Di belakang, tembok batu tinggi yang dipagari pepohonan terlihat angkuh menantang langit. Suasana temaram membuat saya hanya bisa mengira-ngira pemandangan malam itu.
   Kami meniti pematang sawah yang basah selepas hujan hingga ke tepi bukit di depan deretan pohon dan semak. Malam itu rencananya kami akan membuka kemah di sana dan melewatkan malam di alam terbuka. Tadinya kami berniat mengejar gugusan bintang setelah melihat foto yang disebar seorang kawan di media sosial, sayang kami tidak beruntung. Malam itu langit dipenuhi awan selepas hujan tadi sore. Makin malam bintang memang mulai keluar, tapi tetap saja jumlahnya tidak seperti yang kami bayangkan.
  Ketika pagi datang saya baru sadar betapa indahnya pemandangan di sekitar kami. Gugusan bukit batu mengelilingi kami seperti membentuk sebuah pagar alami yang tinggi. Sinar matahari perlahan naik melewati gugusan batu itu membawa suasana yang benar-benar menyenangkan. Di depan kami terhampar sawah selepas panen, di belakangnya berbaris bukit batu berwarna abu-abu kehitaman dan diselingi warna hijau pohon dan belukar. Warna-warna itu disempurnakan dengan latar belakang langit biru dan awan putih yang disaput warna emas matahari pagi. Benar-benar lukisan alam yang membuai.


Pagi hari di Kampung Berua

Kemah kami di Kampung Berua

Meninggalkan Kampung Berua
Setelah menghabiskan malam di alam terbuka, pukul 8 pagi kami meninggalkan Kampung Berua dan kembali ke dermaga Rammang-Rammang. Perjalanan pagi itu terasa lebih menyenangkan, selain karena suasana yang lebih terang, ketinggian sungaipun lebih nyaman untuk ditelusuri. Kali ini meski perahu masih tetap oleng ke kanan dan ke kiri namun saya sudah bisa menikmati pemandangan di kanan kiri.
   Hijaunya pohon bakau dan nipah berbaris di depan padang rumput hijau dengan batu-batuan yang menjulang seperti menara. Di tengah sungaipun beberapa batu besar berdiri tegak menghalangi jalan. Benar-benar perjalanan yang menyenangkan sampai akhirnya kita tiba di dermaga Rammang-Rammang.
   Setelah sekian lama penasaran mendengar cerita dan foto-fotonya, saya akhirnya bisa menginjakkan kaki di Rammang-Rammang. Saya harus mengakui kalau kawasan ini benar-benar memukau, tak heran beberapa orang menyebutnya sebagai
The Hidden Paradise”.